Hindia Timur Belanda

Sebelum datangnya Bangsa Eropa ke Kepulauan Nusantara (Hindia Timur Belanda), aktivitas tambang secara tradisional sudah berlangsung sejak lama, yang diprakarsai oleh kerajaan-kerajaan yang tersebar di Kepulauan Nusantara. Selain situs tambang, banyak artefak yang ditemukan para arkeolog yang terbuat dari emas, baik berupa mahkota, perlengkapan peribadatan, perhiasan, hingga peralatan sehari-hari

BESI

  • Gunung Besi di Minangkabau, Sumatera Barat; merupakan tambang besi pertama di Nusantara. Hasil dari pengolahan tambang ini untuk kepentingan persenjataan.
  • Pulau Jawa; merupakan tempat pandai besi dan penghasil besi. Kesultanan Banten memanfaatkan pengolahan besi sebagai persenjataan tradisional Kujang. Pulau Jawa juga terkenal karena kerajinan besi dan empu pengrajin besi. Di daerah Kedoe dan Karesidenan Banjoemas sepanjang 1904-1909 eksploitasi dilakukan oleh Mij. Tot Ekploitatie van Iizertsterreinen in Ned Indie te‘s Gravenhage.
  • Sulawesi, Danau Matano dan Hulu Sungai Kalaena; tambang besi abad ke-XVI. Pantai Timur Sulawesi yang dikuasai oleh Kerajaan Banggai dan yang melalui Teluk Bone yang dikuasai oleh Kerajaan Luwu, keduanya merupakan daerah tambang besi. Luwu merupakan tempat peleburan logam bagi kerajaan-kerajaan Bugis sekitar Abad ke-XIV. Bahan baku ini disalurkannya dari penduduk perbukitan yang menambangnya untuk kaum pedagang dari Jawa dan tempat-tempat lainnya.
  • Kalimantan, Sungai Serawak di Barat Laut Kalimantan; merupakan pusat tambang sepanjang abad ke X-XIV, dan sekitar tahun 1600 pusat tambang berpindah ke Pulau Karimata.Besi juga terdapat di Pulau Soewangi di Selat Laut, di Pulau Seboekoe sebelah utara Poeloe Laut, di Soengei-Doewa di Borneo (kini Kalimantan).

TEMBAGA DAN EMAS

  • Sumatera: Aceh, Danau Singkarak, dan Sungai Puar.

Pada awal Mei 1662, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) perusahaan multinasional asal Belanda, menduduki Pulau Cingkuak (poulo chinco). Penguasaan oleh VOC didasarkan konsesi untuk berdagang di Sumatra’s Westkust melalui Perjanjian Painan (W.J.A. de Leeuw, Het Painansch Contract. Amsterdam: H.J. Paris, 1926). VOC menguasai Cingkuak pada tahun 1662 dan menjadikan pulau kecil itu sebagai jangkar untuk menduduki Kota Padang. Pulau ini juga digunakan hingga lebih satu abad kemudian sebagai loji untuk keperluan perdagangan lada dan pala, bahkan mengelola tambang emas Salido.

Peta-Salido-Katjil-Foto-KITLV.jpg
Peta Salido Katjil (Salido Kecil/Salido Ketek) tercatat pada tahun 1886-1894 oleh Biro Topografi Hindia Belanda di Batavia yang diterbitkan pada semester 2 tahun 1894 (sumber : KITLV)

Di Pulau Sumatera, emas sudah lama diusahakan oleh rakyat. Kegiatan penambangan emas modern ditandai dengan dibukanya tambang Lebong Donok, Bengkulu pada tahun 1899. Jenis cebakan yang dikerjakan adalah cebakan emas primer. Usaha itu disusul oleh pembukaan tambang-tambang lain seperti Simau (1910), Salida (1914), Lebong Simpang (1921) dan Tambang Sawah (1923). Tambang Manggani di Sumatera Barat mulai berproduksi pada tahun 1913, tambang yang diusahakan oleh perusahaan Equator ini bertahan sampai tahun 1931, kemudian beralih kepemilikan dan dibuka kembali pada tahun 1939 oleh Marsman’s Algemeen Exploratie Maatschappij atau lebih dikenal MAEM. Tambang-tambang lain yang dibuka sesudah era 1930-an yaitu daerah Belimbing, Gunung Arum pada tahun 1935 dan dikelola oleh perusahaan Barisan, daerah Bulangsi dikelola oleh Sumatra Goldmijn Ltd dan Muara Sipongi pada 1936. Selain menambang bijih emas primer, MAEM juga mengusahakan emas yang berasal dari endapan aluvial (sekunder) di Meulaboh Aceh yang dibuka pada tahun 1941 dan berlangsung hingga pecahnya Perang Dunia II. Tambang emas aluvial lain terdapat di Logas Riau dan diusahakan oleh perusahaan Bengkalis.

VOC mulai melakukan eksploitasi terhadap kandungan emas Salido pada tahun 1669, pada masa jabatan Commandeur Jacob Joriszoon Pit, yang menjabat pada tahun 1667 hingga 23 Mei 1678. Pit adalah commandeur VOC ketiga untuk pos Padang.

VOC mendatangkan untuk pertama kalinya dua ahli tambang ke Salido bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang berasal dari Hongaria. Bersama dengan para buruh yang berasal dari budak-budak yang dibawa VOC dari Madagaskar dan tawanan perang (krijgsgevangenen) dari daerah sekitarnya.

Menurut J.E. de Meyier dalam De goud-en zilvermijn Salido ter Sumatras Westkust, De Indische Gids 32.1 (1911), disebutkan bahwa budak-budak dari Nias juga dipekerjakan di tambang itu. Kala itu Fisher dan Johan de Graf meyakinkan VOC, eksploitasi Tambang Salido akan memberi banyak keuntungan.

Akhirnya bulan Juli 1679, VOC kembali mendatangkan ahli tambang ke Salido. Ia seorang insinyur bernama Johann Wilhelm Vogel asal Jerman. Selama bekerja di Salido Johann Wilhelm Vogel menulis buku berjudul Zeven jhrige Ost – Indianische Reise – Beschreibung, Altenburg: J.L. Richter, diterbitkan tahun 1707. Buku ini menceritakan pengalamanya selama bekerja di Tambang Salido.

Setelah Johann Wilhelm Vogel, VOC kembali mendatangkan ahli bebatuan gunung, Benjamin Olitzsch, bersama dengan seorang asisten bernama Elias Hesse. Tapi malang bagi Benjamin Olitzsch, Ia meninggal pada 28 Mei 1682 di Salido karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Pulau Cingkuak.

Elias Hesse kemudian menulis beberapa buku tentang Tambang Salido dan perjalanannya di Sumatra pada umumnya. Dalam bukunya, Gold–Bewerke in Sumatra, Hesse melaporkan antara 9 November 1680 hingga 16 Juni 1681, sebanyak 32 dari 262 buruh di Tambang Salido meninggal.

Setelah Wilhelm Vogel, pengelolaan Tambang Salido digantikan oleh Gabriel Muller. Pada masa Muller Tambang Salido mengalami kemunduran. Kehidupan di tambang itu makin buruk. Saat itu Belanda sedang berperang dengan Perancis, kondisi ini berdampak pula ke negeri-negeri jajahannya. Akhirnya Tambang Salido terpaksa ditutup.

Pada tahun 1724, VOC kembali membuka Tambang Salido dengan mendatangkan seorang ahli asal Jerman bernama Mettenus, dengan asistennya bernama Weinberg. Pada waktu yang sama, VOC juga menemukan wilayah baru yang memiliki kandungan emas, yaitu di Kerawang, Jawa Barat. Usaha membuka Tambang Salido kali ini terhanyata hanya sia-sia. VOC mengalami kerugian, dan akhirnya tambang Salido kembali ditutup.

Sketsa-Tambang-Salida.-Tahun-1655
Sketsa Tambang Salido. Tahun 1655. (sumber: niadilova.wordpress.com)

Tahun 1732 Tambang Salido dibuka lagi, dipimpin oleh seorang ahli bernama Bollman. Eksplorasi di tambang itu ditingkatkan dengan membuat lubang galian baru bernama cloon–tunnel sepanjang 300 meter. Antara tahun 1732 hingga 1733, hasil tambang Salido dilaporkan meningkat, rata-rata per ton batu tambang mengandung bijih emas senilai f 1350. Menurut R.J. Verbeek, yang menulis beberapa buku tentang Tambang Salido (Verbeek 1880 dan 1886), antara tahun 1669 hingga 1735 Tambang Salido sudah menghasilkan 800 ton bijih emas, dengan nilai f 1.200.000 atau rata-rata f 1.500 per ton.

Selama 150 tahun beroperasinya Tambang Salido tidak banyak diketahui orang mengenai tambang itu sampai kemudian Verbeek menerbitkan bukunya, Nota over de verrichtingen der Oost – Indische Compagnie bij de ontginning der goud – en zilveraders te Salido op Sumatras Westkust (1886). Verbeek mengusulkan agar ekploitasi Tambang Salido dilanjutkan.

Tergiur akan keuntungan yang menjanjikan, salah satu Girobank di Rotterdam, yang dipimpin oleh Hulshof Pol, masa itu, berminat mendanai ekploitasi kembali Tambang Salido. Maka dikirimlah seorang ahli pertambangan bernama Arthur Clay ke Salido. Di bawah manajemen baru, dengan K. Kriekhaus sebagai hoofadministrateur-nya yang pertama, Tambang Salido mempekerjakan enam orang ahli Eropa, dan 50 hingga 60 pekerja kontrak dan 200 orang kuli bebas.

Dibawah pimpinan Kriekhaus Tambang Salido terus merugi. Neraca tambang Salido pada 12 Desember 1912 hanya menyisakan uang sebanyak f 128,33. Kriekhaus mencoba tetap bertahan sambil mencari metode dan teknologi baru untuk meningkatkan hasil Tambang Salido.

Akhir tahun 1912 Kriekhaus masih mencoba menyelamatkan Tambang Salido, ia minta bantuan manajemen tambang Aequator (direkturnya waktu itu P. Grimmel) dan manajemen Kinandam Sumatra-Mijnbouw (K.S.M.M.), (direkturnya waktu itu Gebruiders Veth). Pada bulan Juli 1914 untuk pertama kalinya dicoba menggunakan zat kimia untuk memisahkan bijih perak dan emas di Tambang Salido.

Tambang Salido masih bertahan beberapa tahun lagi melewati masa-masa paling sulitnya. Kriekhaus masih memimpin tambang itu di masa-masa sulit tersebut, sebelum ia mundur pada 1 Mei 1918.

Hingga beberapa tahun kemudian, Tambang Salido masih beroperasi di bawah pimpinan Ir. de Greve. Namun, karena merugi terus, Tambang Salido akhirnya ditutup pada tahun 1928. Tidak pernah dibuka lagi hingga Belanda meninggalkan Indonesia pasca pendudukan Jepang.

 

  • Pulau Jawa: Tegalombo di Surakarta, Jogkakarta, Tuban dan Sidayu; Priangan: Sumedang dan Cianjur.

Cebakan bijih emas primer yang ditemukan di daerah Cikotok mulai diproduksi pada 1940 dan diusahakan oleh perusahaan Zuid Bantam (Anonim, 1998). Pembangunan tambang emas Cikotok dilakukan oleh N.V Mynbouw Maatschappy Zuid Bantam (NV.MMZB) pada tahun 1936 sampai 1939, pada saat itu pabrik di Pasirgombong untuk pertama kalinya berproduksi. Cadangan bijih emas pada waktu itu adalah sebesar 569.041 ton dengan kadar Au 8,4 g/ton dan Ag 481 g/ton. Tambang emas Cikotok dan Cikondang dan sejumlah tambang emas di Sumatera (Simau, Lebong, Simpang, Manggani, Logas, dan Meulaboh) serta tambang emas di Sulawesi Utara (Tapaibekin) tetap berjalan walaupun pecah Perang Dunia II.

Di zaman Jepang, tambang-tambang tersebut tetap beroperasi dan dikelola oleh perusahan Jepang bernama Mitsui Kosha Kabunshiki Kaisha dengan tujuan utamanya mengambil timah hitam dari tambang Cirotan untuk kebutuhan militer. Antara tahun 1945-1948, yang merupakan tahun perjuangan kemerdekaan, tambang emas Cikotok dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia dibawah pengawasan Jawatan Pertambangan Pusat Republik Indonesia.

Selama masa aksi militer Belanda ke-2 pada tanggal 23 Desember 1948, Tambang Cikotok kembali dikuasai oleh Belanda sampai pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Sementara itu NV.MMZB telah kembali untuk meneruskan usahanya, tetapi tambang dan pabrik mengalami kerusakan berat selama pendudukan Jepang dan selama tahun-tahun revolusi selanjutnya. Setelah mengetahui bahwa untuk merehabilitasi dan membangun kembali tambang tersebut membutuhkan biaya besar sekali, maka perusahaan tadi memutuskan untuk menjual tambang tersebut kepada NV Perusahaan Pembangunan Pertambangan (NV.PPP).