Eksploitasi Tambang

  • Nassau

Oranje Nassau merupakan situs tambang batubara tertua di Indonesia yang diusahakan oleh Hindia Belanda ada tahun 1849. Lokasi situs  berada  di  Desa Pengaron, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Ketika didirikan, lokasi tambang ini menempati wilayah milik Kesultanan Banjarmasin. Tambang batubara Oranje Nassau  itu diresmikan  penggunaannya pada tahun 1849 oleh Gubernur Jenderal JJ. Rochussen pada 28 September 1849 (ANRI 1965: 255; Leirissa (Ed.) dkk.). Pengaron sebagai lokasi tambang batubara Oranje Nassau termasuk Distrik Riam Kiwa.

Luas Situs Tambang Batubara Oranje Nassau sekitar 169,6 m2 (Tim Penelitian Balai Arkelogi Banjarmasin 2012:29). Bentang alam situs tambang batubara Oranje Nassau adalah perbukitan dan merupakan bagian dari Gunung Pagaran, diapit oleh dua buah sungai yakni Sungai Riam Kiwa berada di sebelah utara dan Sungai Maniapon Kecil berada di sebelah selatan situs.

image003_nassau
Lokasi tambang Nassau dilingkari warna merah.

Kalimantan Selatan, merupakan wilayah milik Kesultanan Banjarmasin. Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan ijin dari Sultan Adam untuk penggalian batubara di beberapa daerah, antara lain tambang Oranje Nassau di Pengaron (Riam Kiwa) pada tahun 1849, kemudian tambang Julia Hermina di Banyu Irang, dan Kalangan pada tahun 1853. Daerah-daerah tempat tambang batubara tersebut merupakan tanah lungguh yang diberikan oleh sultan kepada mangkubumi. Namun karena diambil Belanda, maka sebagai gantinya mangkubumi mendapatkan empat puluh Gulden (f.140,-) untuk setiap ton batubara yang dihasilkan. (sumber: Tambang Batubara Oranje Nassau, Kalimantan Selatan dalam Pandangan Arkeologi Industri, Libra Hari I.)

  • Bukit Asam

PT. Bukit Asam (Persero) Tbk memiliki sejarah yang sangat panjang di industri batubara nasional. Operasional perusahaan ini ditandai dengan beroperasinya tambang Air Laya di Tanjung Enim tahun 1919 oleh pemerintah kolonial Belanda. Kala itu, penambangan masih menggunakan metode penambangan terbuka. Pada periode tahun 1923 hingga 1940, tambang Air Laya mulai menggunakan metode penambangan bawah tanah. Dan pada periode tersebut mulai dilakukan produksi untuk kepentingan komersial, tepatnya sejak tahun 1938.
Seiring dengan berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di tanah air, para karyawan Indonesia kemudian berjuang menuntut perubahan status tambang menjadi pertambangan nasional. Pada 1950, Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengesahkan pembentukan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN. TABA). Pada tanggal 1 Maret 1981, PN. TABA kemudian perubahan status menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT. Bukit Asam (Persero), yang selanjutnya disebut PTBA atau Perseroan dengan kantor pusat di Jl. Parigi No. 1 Tanjung Enim 31716 Muara Enim, Sumatera Selatan, Indonesia.

Tarahan-View_ptba.png

Dalam rangka meningkatkan pengembangan industri batu bara di Indonesia, pada 1990 Pemerintah menetapkan penggabungan Perum Tambang Batubara dengan Perseroan. Sesuai dengan program pengembangan ketahanan energi nasional, pada 1993 Pemerintah menugaskan Perseroan untuk mengembangkan usaha briket batu bara. Pada 23 Desember 2002, Perseroan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode perdagangan “PTBA”. (sumber: runforiver.id/2017/09/27/pt-bukit-asam-persero-tbk/)

Di era awal 1970-an saat melambungnya harga minyak, mata dunia terbuka bahwa batubara merupakan sumber energi alternatif yang murah dan memiliki cadangan besar. Di awal tahun 1976, Unit Produksi TABA yang merupakan bagian dari Perum Batubara mendapatkan kunjungan dari pihak Bank Dunia. Unit yang memiliki kapasitas produksi tahunan 122,000 ton saat itu telah memiliki studi kelayakan sederhana dan memiliki angka produksi yang tidak melebihi 1 juta ton per tahun. Kemudian diputuskan untuk mengubah coal mining project menjadi coal mining transportation atau pertambangan terpadu.

Pertambangan Terpadu ini dalam perencanaannya transportasi batubara akan menempuh perjalanan darat sejauh 420 kilometer dan perjalanan laut 100 kilometer dari lokasi awal (hulu) di area penambangan batubara Tanjung Enim, dan berujung (hilir) di PLTU Suralaya. Untuk studi kelayakan terpadu program pengembangan ini sendiri, Bank Dunia dan pemerintah RI masing-masing mengeluarkan anggaran 10 juta dolar AS.

Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan pembangunan tambang terpadu ini dan dibentuklah PTBA di tahun 1981 untuk melaksanakan pembangunan tambang dan pelabuhan. PTBA mendapat pinjaman 185 juta dolar AS, dimana 120 juta dolar AS merupakan pinjaman dari Bank Dunia selaku project sponsor. Sisanya merupakan pinjaman dari beberapa negara seperti Jerman (KFW), Jepang, Kanada dan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia (RI) pun turut memberikan pinjaman dengan nilai yang sama dalam bentuk mata uang rupiah. Selain itu pemberi pinjaman lainnya dari dalam negri adalah Bank BNI 46. Berdasarkan data dari Laporan Tahunan 2014, produksi PTBA di tahun 2014 sudah mencapai angka 16,3 juta ton per tahun dengan net profit 2,02 Triliun rupiah. (sumber: ptba.co.id/id/read/ptba-history-as-integrated-coal-mining)

Sawahlunto

Hingga 1942 pertambangan batubara milik pemerintah Hindia Belanda, (Gouvernementskolenmijnen) adalah Ombilinmijnen yang terletak di Ombilin, Sawahloento, Residentie West-Kust Sumatera, Boekit Assam Kolenmijnen yang merupakan bagian dari Residentie Oost-Zuid Borneo). Adapun pertambangan batubara milik Swasta (Particulierekolenmijnen (1850an-1942)) antara lain NV Pengaroen Kolenmijnen, NV Bajah Kolenmijen, NV Oranje-Nassau Kolenmijnen. Arsip yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan pertambangan seperti laporan tahunan, laporan hasil produksi, laporan penjualan dan lain-lain terdapat dalam khazanah inventaris Mijnwezen.

bb_6
Para pekerja sedang mengangkut batubara dengan lori di tambang Ombilin Sawahlunto, 1950.
bb_3
Daerah perkampungan di Sawahlunto, Sumatera Barat, sekitar tahun 1950.

btbr_sawahlunto copy.png

Nama Sawahlunto tidak asing lagi sejak even olahraga bertaraf internasional Tour de Singkarak yang digelar oleh Pemerintah Kota Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat. Acara ini didukung penuh oleh perusahaan pertambangan batu bara milik negara, PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit Pertambangan Ombilin (PTBA UPO).

Sawahlunto adalah kota kecil di sebelah timur kota Padang. Nama ini cukup lekat dengan pertambangan batubara. Bila berbicara batubara, ingatan pun tertuju kepada PTBA, salah satu perusahaan besar milik negara yang bergerak di bidang pertambangan batubara.

Jauh sebelum dikelola oleh PTBA melalui anak perusahaannya PTBA UPO, batubara yang berada di perut bumi Sawahlunto ini dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Dalam laporan sebuah situs berita nasional, liputan6.com, diceritakan, pertambangan batubara di kota kecil ini bermula pada tahun 1867. Ketika itu, seorang petualangan asal Belanda Willem Hendrik de Greve berhasil menemukan deposit batubara di dalam perut bumi, di sekitar Sungai Ombilin, mencapai 205 juta ton. Penemuan ini sungguh mencengangkan ketika itu.

Ketika itu, Batubara sangat dibutuhkan oleh dunia industri dan transportasi. Atas persetujuan pemerintah Belanda, ia mulai melakukan penambangan batubara. Sejak itu, kota yang terpencil itu menjadi ramai.

Setelah masyarakat setempat “menyerahkan” daerah ini kepada Belanda, maka pada tahun 1876, dirintislah pertambangan batu bara di daerah ini.

Penambangan emas hitam di Sawahlunto mulai beroperasi pada tahun 1891. Nilai investasi yang ditanamkan Kerajaan Belanda ketika itu sangat besar, 20 juta Gulden atau setara dengan Rp150 miliar.

Jalur kereta api dibangun sepanjang 100 kilometer menghubungkan Sawahlunto dengan Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang. Lokomotif terbaru pun didatangkan dari Jerman. Mak Itam namanya. Batubara membuat Sawahlunto menjadi magnet bagi kaum pendatang di awal abad 20. Kebutuhan akan pangan meledak. Memaksa Belanda membangun pusat pengolahan makanan yang kini menjadi Museum Gudang Ransum. Di sinilah pemenuhan pangan seluruh para pekerja tambang dan warga masyarakat, termasuk untuk orang Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, pertambangan itu dikelola oleh negara melalui perusahan yang didirikannya, yakni PT Tambang Batu Bara Ombilin (TBO). TBO kemudian dilikuidasi menjadi anak dari PTBA yang berada di Tanjung Enim, Sumatra Selatan.

Hingga kini, Kekayaan batu bara di perut bumi Sawahlunto ini terekam jelas di sebuah lubang tambang batubara yang dinamakan Lubang Mbah Suro.

Lubang ini merekam perih laranya para kaum pekerja paksa. Kaum tahanan pemerintahan Hindia Belanda yang didatangkan dari Pulau Jawa dan daerah lain yang disebut orang rantai.
Pada tahun 1932, lubang ini ditutup oleh belanda.

Pada 2007, lubang yang berada di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar ini pun dibuka kembali oleh pemerintah daerah setelah melalui beberapa kali pemugaran untuk keperluan pariwisata. Saluran air dan udara ditambahkan agar pengunjung dapat memasukinya dengan nyaman.

Meski PTBA UPO kini tidak beroperasi lagi, karena harga acuan batubara kini tak sebanding dengan ongkos produksi jenis tambang. Namun, PTBA UPO telah membangun sebuah museum bernama Museum Tambang Batubara Ombilin pada 14 Juni 2016 lalu.

Museum yang diresmikan oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dr. Sapta Nirwanda ini bertujuan sebagai pusat dokumentasi dan arsip PTBA UPO, dan diharapkan dapat menjadi pelengkap mutakhir dari berbagai objek wisata yang ada di Sawahlunto, bahkan menjadi pusat studi dan informasi sejarah pertambangan batubara di Indonesia serta mampu menarik wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara.  (sumber: ptba.co.id/id/read/remembering-the-coal-mine-in-sawahlunto)

  • Freeport

PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. yang didirikan pada 7 April 1967. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.

pt-freeport-indonesia.png

Sejarah PT. Freeport

Awal mula PT. Freeport Indonesia berdiri, sesungguhnya terdapat kisah perjalanan yang unik untuk diketahui. Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda, Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua.

Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua. Tiba-tiba jauh di pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat didalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu pegungungan yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.

Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.

Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA. Lorentz dan Kapten A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan.

Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.

dozy_kanan.jpg
Dozy (paling kanan) memiliki jasa besar pada penemuan tambang emas dengan cadangan terbesar didunia dan tambang tembaga dengan cadangan terbesar ke-tiga di dunia.

Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan Van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij, yang mengeksploitasi batubara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisisnya serta melakukan penilaian.

Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembangunan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).

Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jenderal Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.

Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.

Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa. Tahun 1972, Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura. Pada tahun 1973 Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang mempunyai latar belakang pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an, suami dari Miriam Budiarjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam perjanjian Renville.

Sekilas data tentang Freeport.

  • Sejarah Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia
    • 1936 – Jacques Dozy menemukan cadangan ‘Ertsberg’.
    • 1960 – Ekspedisi Forbes Wilson untuk menemukan kembali ‘Ertsberg’.
    • 1967 – Kontrak Karya I (Freeport Indonesia Inc.) berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi tahun 1973.
    • 1988 – Freeport menemukan cadangan Grasberg. Investasi yang besar dan risiko tinggi, sehingga memerlukan jaminan investasi jangka panjang.
    • 1991 – Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir pada tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan 2×10 tahun (sampai tahun 2041).
  • Luas wilayah
    • Eksplorasi KK-A = 10.000 Ha
    • Eksplorasi KK-B = 202.950 Ha

    Total Wilayah = 212.950 Ha

    Luas wilayah KK Blok B terakhir seluas 212.950 hektar tersebut hanya tinggal 7,8 % dari total luas wilayah eksplorasi pada tahun 1991.

    • 1991 = 2,6 juta Ha
    • 2012 = 212.950 Ha
  • Investasi
    • 8,6 miliar dengan perkiraan tambahan investasi sebesar USD 16-18 Miliar untuk pengembangan bawah tanah ke depan.
    • 94% total investasi tambang tembaga di Indonesia
    • 30% total investasi di Papua
    • 5% total investasi di Indonesia
  • Cadangan terbukti: 2,52 miliar ton bijih
    • 0,97 gram/ton tembaga
    • 0,83 gram/ton emas
    • 4,13 gram/ton perak
  • Penerimaan negara

PTFI telah membayar PPh Badan lebih tinggi dari tarif UU yang kini berlaku. Pembayaran ini merupakan porsi terbesar dalam pembayaran ke penerimaan Negara. UU PPh Nasional 25% sementara PPh Badan PTFI 35%. Sejak tahun 1999, PTFI secara sukarela telah melakukan pembayaran royalti tambahan untuk tembaga, emas dan perak jika produksi melebih tingkat tertentu yang disetujui.

  • Produksi

40% produk konsentrat PTFI dikirim ke PT Smelting Gresik PTFI membangun pabrik peleburan tembaga (smelter) pertama di Indonesia, yaitu PT Smelting tahun 1998. Kami memasarkan konsentrat dengan harga pasar berdasarkan kontrak jangka panjang dengan sejumlah smelter internasional, dan akan tetap menghormati kontrak-kontrak tersebut.

  • Divestasi

PTFI mendukung penuh semangat nasional yang digagas dalam UU. Minerba dan telah secara konsisten menerapkannya. Saat ini 18,72% sebelum terdelusi dari 20%, saham PTFI dimiliki oleh Pemerintah Indonesia dan PT. Indocopper Investama masing-masing 9,36%. Berkaitan dengan IPO, PTFI menyambut baik gagasan tersebut dan sedang melakukan pengkajian.

Pembangunan berkelanjutan

Semua pengertian tentang program pengembangan masyarakat PTFI harus didahului oleh pengertian tentang sejarah Papua. Pertama kali PTFI beroperasi pada tahun 1967, masyarakat Papua merupakan masyarakat pra-modern. Pada saat itu, masyarakat di sana memiliki tingkat baca-tulis yang sangat rendah, rentan terhadap wabah penyakit seperti malaria, dan hidup dalam kemiskinan. Lokasi yang terpencil dan medan yang sulit ditempuh membuat situasi kurang kondusif.

Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat PTFI difokuskan untuk membantu masyarakat setempat untuk membangun program ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kemampuan baca-tulis, memberikan pelatihan-pelatihan kejuruan, dan mengadakan program kesehatan yang memadai.

Investasi

  • USD 110,9 juta investasi di program pembangunan berkelanjutan di Papua selama 2012.
  • USD 68,14 juta program pengembangan sosial melalui dana operasional.
  • USD 39,36 juta program pengembangan masyarakat melalui dana kemitraan.

Ditambah USD 600 juta investasi dalam bentuk infrastruktur sosial yang bermanfaat bagi masyarakat lokal secara langsung (sekolah, rumah sakit, asrama siswa).

Pengembangan bisnis lokal

Pendapatan usaha kecil tahun 2012: Rp 91,1 miliar

Pembinaan pengembangan bisnis bagi sekitar 220 usaha kecil dan menengah serta usaha lokal dan menciptakan lebih dari 1.000 lapangan kerja bagi masyarakat lokal.

Dana berputar dari Yayasan Bina Utama Mandiri (YBUM) pada tahun 2012 adalah Rp 6,9 miliar. Sejak dimulai, Rp35,3 miliar dari pinjaman usaha telah disediakan bagi 220 usaha. Pelunasan pinjaman sebesear 112%

Pembinaan dilakukan terhadap 317 nelayan di 19 desa, bekerjasama dengan Keuskupan Mimika. Produksi tangkapan ikan 57,5 ton.

Penjualan tahunan Yayasan Jayasakti Mandiri (Peternakan Ayam di SP IX & XII) sebesar Rp 19,9 miliar. YJM mempekerjakan lebih dari 472 pekerja dari Papua.

Hingga Desember 2012, sebanyak 227 petani mitra di 5 desa Kamoro dan 24 petani mitra di desa Utikini Baru dan Wangirja menerima bantuan pelatihan, bibit, pendampingan dan pemasaran produk sayuran.

Sebanyak 92 petani kopi organik berpartisipasi dalam pengemangan kopi di Moenamani dan Wamena, serta memperoleh perpanjangan sertifikasi organik dari Rainforest.

  • Amman Mineral

Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMNT) merupakan perusahaan tambang yang berada dibawah Newmont Mining Corporation yang merupakan sebuah perusahaan yang berbasis di Denver, Colorado, Amerika Serikat. Newmont Mining Corporation didirikan pada tanggal 2 Mei 1921 di New York oleh Kolonel William Boyce Thompson dan saat ini memiliki 12 tambang besar yang tersebar di Afrika, Amerika Latin, Amerika Utara, Asia Pasifik dan Indonesia. Nama Newmont dipilih oleh pendirinya yaitu Kolonel William Boyce Thompson sebagai singkatan New York dan Montana karena dibesarkan di Montana, dan menjalankan perusahaannya di New York.

bg_tentang_kami_2_amman_mineral copy.png

Newmont Mining Corporation di Indonesia memiliki 2 cabang, yaitu PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) dan PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT). Namun pada 2 November 2016 lalu PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) telah resmi berganti nama menjadi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMNT) karena PT Amman Mineral Internasional (PT. AMI) melalui PT. Medco Energi Internasional Tbk mengambil alih saham sebesar 82,2%. PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMNT) menandatangani Kontrak Karya pada tahun 1986 dengan Pemerintah RI untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMNT) menemukan tambang tembaga profiri pada tahun 1990, yang kemudian diberi nama Batu Hijau.

Setelah penemuan tersebut, dilakukanlah pengkajian teknis dan lingkungan selama enam tahun. Kajian tersebut disetujui pemerintah Indonesia pada 1996 dan menjadi dasar dimulainya pembangunan Proyek Tambang Batu Hijau, dengan total investasi US$ 1,8 Miliar. Proyek pembangunan tambang, pabrik dan prasarananya selesai pada 1999 dan mulai beroperasi secara penuh pada Maret tahun 2000 serta rencana penutupan tambang pada akhir tahun 2020.

  • Inco/Vale

PT. Vale mempunyai sejarah yang membanggakan di Indonesia. Diawali dengan ekplorasi di wilayah Sulawesi bagian timur pada tahun 1920-an. Kegiatan eksplorasi, kajian dan pengembangan tersebut terus dilanjutkan pada periode kemerdekaan dan selama masa kepemimpinan Presiden Soekarno.

eksplorasi_beniwahyu.png
Beni Wahju (paling kanan) berada di aliran Sungai Larona bersama tim eksplorasi tahun 1966. Perjalanan ekspedisi bijih laterit yang dilakukan Beni Wahju, Hitler Singawinata dan tim eksplorasi inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal PT Vale (sebelumnya bernama Inco). Ekspedisi ini sekaligus untuk memastikan Indonesia memiliki 15% cadangan nikel dunia.

PT. Vale (yang saat itu bernama PT. International Nickel Indonesia) didirikan pada bulan Juli 1968. Kemudian di tahun tersebut PT. Vale dan Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya (KK) yang merupakan lisensi dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan eksplorasi, penambangan dan pengolahan bijih nikel.

Sejak saat itu PT. Vale memulai pembangunan smelter Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

factory-large-thumb.png

Melalui Perjanjian Perubahan dan Perpanjangan yang ditandatangani pada bulan Januari 1996, KK tersebut telah diubah dan diperpanjang masa berlakunya hingga 28 Desember 2025.

Pada bulan Oktober 2014, PT. Vale dan Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan setelah renegosiasi KK dan berubahnya beberapa ketentuan di dalamnya termasuk pelepasan areal KK menjadi seluas hampir 118.435 hektar.

Ini berarti luasan areal KK telah berkurang hingga hanya 1,8% dari luasan awal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia pada saat penandatanganan KK tahun 1968 seluas 6,6 juta hektar di bagian timur dan tenggara Sulawesi akibat serangkaian pelepasan areal KK.

Milestone PT. Vale

  • 1968: Penandatanganan Kontrak Karya.
  • 1970: Pengiriman 50 ton sampel pertama bijih dari Sulawesi ke INCO, Kanada.
  • 1973: Awal pembangunan pabrik pengolahan nikel Sorowako.
  • 1977: Peresmian fasilitas penambangan dan pabrik pengolahan nikel oleh Presiden Soeharto dan pembangunan PLTA Larona (165 megawatt).
  • 1978: Produksi nikel komersil perdana sekaligus pengiriman ke Jepang.
  • 1979: PLTA Larona beroperasi.
  • 1985: Produksi pertama nikel dalam matte menggunakan konverter Pierce-Smith.
  • 1988: Divestasi perdana perusahaan, sebanyak 20% saham dilepas untuk publik.
  • 1995: Pembangunan PLTA kedua perusahaan, Balambano (110 megawatt).
  • 1996: Renegosiasi Kontrak Karya. Masa operasi diperpanjang hingga 2025.
  • 1999: PLTA Balambano beroperasi.
  • 2003: Penandatanganan kerjasama dengan PT. ANTAM untuk penyediaan bijih nikel saprolit sebesar satu juta ton per tahun dari deposit Blok Pomalaa.
  • 2006: Fasilitas Pembibitan Tanaman (nursery) perusahaan di Sorowako beroperasi.
  • 2007: PLTA ketiga perusahaan, Karebbe mulai dibangun.
  • 2011: PLTA ketiga perusahaan, PLTA Karebbe (90 megawatt) resmi beroperasi.Pemegang saham menyetujui perubahan nama dari PT. INCO menjadi PT. Vale Indonesia Tbk.
  • 2012: Nama PT. Vale resmi digunakan secara menyeluruh dan dideklarasikan kepada karyawan.Perusahaan pertama kali menerapkan Program Sosial berbasis kemitraan dengan Pemerintah Kabupaten dan masyarakat melalui Program Mitra Desa Mandiri (PMDM) untuk periode 2012 – 2017.
  • 2013: Proyek Konversi ke Batubara sebagai bahan bakar pabrik (Coal Conversion Project) Tahap I mulai diimplementasikan.Operasi perdana Pakalangkai Waste Water, salah dari Proyek Strategis Effluen Perusahaan, yakni berupa fasilitas pengolahan air limbah tambang di Blok Sorowako.
  • 2014: Renegosiasi Kontrak Karya. Masa operasi diperpanjang hingga 2045.
  • 2015: Rekor produksi tertinggi mencapai 81.200 metrik ton.Perusahaan mengintroduksi Pertanian Organik Ramah Lingkungan melalui budidaya padi organik kepada petani di wilayah pemberdayaan. Operasi perdana Lamella Gravity Settler, salah satu dari Proyek Strategis Effluen Perusahaan di Blok Sorowako.
  • 2016: Peluncuran perdana Vale Whistlerblower Channel, saluran pengaduan internal dan publik terhadap dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi di Perusahaan.Kantor PT. Vale di Jakarta pindah ke Energy Building. Setelah selama 20 tahun berkantor di Bapindo Plaza. Beban pokok pendapatan $6.964 per ton nikel matte yang merupakan unit terendah sejak 2006.
  • 2017: Perusahaan mengaktifkan Continuous Improvement Project untuk mewujudkan target produksi 90.000 metrik ton per tahun.
  • 2018: Meraih rekor 17,4 juta jam kerja bebas dari kecelakaan/zero lost time injury periode 5 April 2017 – 5 April 2018.
  • Kaltim Prima Coal (KPC)

PT. Kaltim Prima Coal (KPC) adalah perusahaan penghasil batubara terbesar di Indonesia yang berlokasi di Sangatta kabupaten Kutai Timur – Kalimantan Timur. KPC didirikan pada tahun 1982 dengan kepemilikan saham antara British Petroleum (BP) dan Conzinc Rio Tinto of Australia masing-masing 50%.

broadcast-img-b4c07bea3d15aac3bf78e9443fc83f5d.png

Berdasarkan Akta No. 9 tanggal 6 Agustus 2003 dan Bukti Pelaporan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI No. C-UM. 02 01.12927 tertanggal 11 Agustus 2003, saham KPC yang dimiliki oleh BP dan Rio Tinto telah dialihkan kepada Kalimantan Coal Ltd. dan Sangatta Holding Ltd, dan yang selanjutnya pada tanggal 18 Oktober 2005, sesuai dengan Akta Notaris No. 3 tanggal 18 Oktober 2005, PT. Bumi Resources Tbk. telah mengakuisisi saham Kalimantan Coal Ltd. dan Sangatta Holding Ltd. Berdasarkan akta notaris No. 34 tanggal 4 Mei 2007, pemegang Saham PT. Kaltim Prima Coal mengalihkan 30% sahamnya kepada Tata Power (Mauritius).

Berdasarkan Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ditandatangani pada tanggal 8 April 1982, pemerintah memberikan izin kepada KPC untuk melaksanakan eksplorasi, produksi dan memasarkan batubara dari wilayah perjanjian sampai dengan tahun 2021. Wilayah perjanjian PKP2B ini mencakup daerah seluas 90.938 ha di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.

  • Chevron

Berdirinya PT. Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) diawali dari eksplorasi minyak di Pulau Sumatera, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur yang dipimpin oleh Emerson M. Butterworth. Pada bulan Maret 1924, Upaya pencarian minyak dilakukan oleh Standard Oil Company of California (SOCAL). Tim Butterworth juga melakukan survey eksplorasi di bagian utara pulau Papua dan terhenti karena Indonesia masih dibawah penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1930, tim Butterworth mengajukan izin pengeboran minyak kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan pengeboran minyak di pulau tersebut. Karena berdasarkan survey yang telah dilakukan terdapat kandungan minyak yang potensial pada daerah tersebut.

96d0eccf87fc5de6533b1111c46a6e32.png

Kemudian pemerintah Hindia Belanda memberikan izin kepada SOCAL untuk melanjutkan kegiatan eksplorasi di Sumatra Tengah. SOCAL ditawari pemerintah daerah Hindia Belanda suatu daerah seluas 600.000 hektar di daerah Sumatra Tengah dan kemudian dibentuk N.V. Nederlances Pacific Petroleoum Maatschappij (NPPM) pada bulan Juni 1930 yang merupakan cikal bakal dari PT. Chevron Pacific Indonesia.

Untuk melakukan eksplorasi di kawasan tersebut, SOCAL bekerja sama dengan perusahaan minyak Amerika lainnya yang bernama TEXACO (Texas Oil Company) dan membentuk suatu perusahaan baru yang diberi nama CALTEX (California Texas Corporation). Dengan menerima tawaran Pemerintah Hindia Belanda tersebut dimulainya karya Caltex di Propinsi Riau. Pengeboran minyak di kawasan Riau dimulai pada tahun 1934. Pada tahun 1940 untuk pertama kalinya minyak mulai mengalir dari lokasi sumur di Sebanga, dan pada tahun 1941 PT. Caltex Pacific Indonesia (PT. CPI) menemukan ladang minyak di daerah Duri.

Dengan ditemukannya kandungan minyak di daerah tersebut, maka dilakukanlah kegiatan eksplorasi. Kegiatan pengeboran sempat terhenti karena adanya Perang Dunia II sekitar tahun 1946. Setelah perang berakhir, kegiatan eksplorasi kembali dilakukan dan dipusatkan untuk pengembangan lapangan minyak Minas. Ladang minyak Pungut ditemukan pada tahun 1951, Kota Batak pada bulan Juli 1952, Bekasap pada bulan September 1955, lapangan gas Sebanga Utara bulan November 1960, hingga yang terakhir Tegar dan Sakti pada bulan Januari dan Juli 1991.

Nasionalisasi perusahaan penghasil minyak yang dimiliki Belanda dimulai pada tahun 1957. Keputusan tersebut dikeluarkan oleh Presiden Soekarno yang secara tidak langsung akan berpengaruh besar terhadap posisi Caltex sebagai salah satu perusahaan penghasil minyak. Caltex telah menanamkan modalnya di Indonesia sebesar US$50 juta sejak tahun 1950-an. Menjelang tahun 1958 produksi minyak Caltex talah mencapai 200.000 barrel per hari. Usaha nasionalisasi perusahaan minyak asing di Indonesia diatur dalam UU No.44 tahun 1960. Berdasarkan Undang – undang ini dinyatakan bahwa semua kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia hanya dilakukan oleh negara yang pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan minyak negara.

Pada bulan September 1963, diadakan “Perjanjian karya” yang ditandatangani antar perusahaan negara dan perusahaan asing, dan termasuk di dalamnya adalah PT. CPI dan Pertamina. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa wilayah PT. CPI adalah wilayah Kangaroo seluas 9.030 km2 . Pada tahun 1968, diadakan penambahan luas wilayah yaitu sekitar Minas Tenggara, Libo Tenggara, Libo barat, dan Sebanga, sehingga luas wilayah kerja PT CPI seluruhnya menjadi 9898 km2 .

Perjanjian karya berakhir pada 28 November 1983 dan diperpanjang menjadi kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) hingga tanggal 8 Agustus 2001 dengan wilayah kerja seluas 31.700 km2 . Dalam kontrak bagi hasil tersebut antar lain menetapkan bahwa Pertamina adalah pengendali manajemen operasional dan yang menyetujui program kerja dan anggaran tahunan. PT. CPI sebagai kontraktor berkewajiban melaksanakan kegiatan operasional dan menyediakan keahlian teknis, dan investasi serta biaya operasi. Kontrak bagi hasil untuk daerah operasi baru seluas 21.975 km2 yaitu wilayah Coastal Plains dan Pekanbaru atau CPP ditandatangani pada tanggal 9 Agustus 1971, sedang wilayah kerja sebelumnya yang dikenal dengan sebutan Kangoroo Block seluas 9030 km2 diperpanjang masa operasinya sampai dengan tanggal 8 Agustus tahun 2001. Rasio pembagian untuk kontrak bagi hasil yang disepakati sampai saat ini antara pemerintah (Pertamina) dan PT. CPI adalah 88% : 12%.

Jika dibandingkan dengan 52 kontraktor minyak lainnya, PT. CPI merupakan kontraktor paling besar. Produksi minyak mentah PT. CPI mencapai 65.8% (1974) dan menurun menjadi 46.5% (1990), meskipun terjadi penurunan pangsa produksi dari PT. CPI, kelima kontraktor minyak, yaitu Caltex, Arco, Mobil Oil, Total, dan Maxus, tetap menguasai pangsa produksi sebesar 75%, sedangkan Pertamina dan Unocal mengalami penurunan produksi. Ladang Minyak Duri memberikan sumbangan sumbangan sebesar 42% dari seluruh total produksi minyak PT. CPI pernah mengalami penurunan produksi yang tajam pada 1960-an, hal ini sangat memprihatinkan pihak PT. CPI karena penurunan tersebut akan sangat berpengaruh pada “economic life expectancy” dari perusahaan itu sendiri.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut PT. CPI telah melaksanakan suatu proyek yang dinamakan proyek injeksi uap di ladang minyak Duri. Proyek ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada bulan Maret 1990. Injeksi uap tersebut merupakan teknologi generasi ketiga yang dimiliki oleh PT. CPI. Teknologi ini akan mempermudah proses penyedotan minyak dari dalam perut bumi yang tidak dapat dilakukan dengan teknologi penyedotan minyak “tradisional”. Dengan menerapkan teknologi tersebut PT. CPI mengharapkan tidak hanya mencegah penurunan produksi minyak yang berasal dari ladang minyak Duri tetapi juga melipat gandakan produksi minyak yang berasal dari ladang minyak tersebut.

Untuk pengembangan ladang Duri dilakukan dalam tiga belas area yang dimulai dengan membangun konstruksi area pertama pada tahun 1981. Pembangunan juga mencakup fasilitas pendukung utama seperti Stasiun Pengumpul Minyak dan Stasiun Pembangkit Uap. Sampai pengembangan area-V, sistem injeksi yang diterapkan dikenal dengan sistem pola tujuh titik atau pola lima dan sembilan. Dimana satu buah sumur injeksi uap dikelilingi oleh enam buah sumur produksi.

Pada tanggal 10 Oktober 2001, dua buah perusahaan besar Chevron dan texaco yang selama ini dikenal sebagai pemilik saham yang terpisah bersatu, maka didirikanlah sebuah perusahaan ChevronTexaco. ChevronTexaco merupakan perusahaan energi global teratas dengan 53.000 pegawai yang tersebar di 180 Negara dan menjadi produsen tertinggi di negara Indonesia, Angola, Kazakstan serta memegang daerah utama di perairan dalam Amerika Serikat. Sebagai perusahaan energi global puncak, perusahaan raksasa ChevronTexaco tercatat memiliki 25.000 tempat penyalur produk minyak dan gas.

Produksi untuk penjualan harian sebesar 3,5 Juta barel perhari dengan kapasitas kilang minyak 2,2 Juta barel.

Pada tahun 2005, nama Caltex Pacific Indonesia berubah menjadi Chevron Pacific Indonesia sesuai ditetapkannya surat keputusan No.C-25712 HT.01.04.TH.2005 pada tanggal 16 September 2005. Perubahan ini dilakukan berdasarkan pengarahan dari pemilik saham mengenai penggunaan nama Chevron pada seluruh bisnis hulu perusahaan ini.